Starting from laziness

Recently, I'm absent in writing in this Blog.I don't know... Why... maybe I'm too preoccupied to writing the things that are not part of my obligations.I thing I need to start this habit again.Huffa... [wake up from the laziness]Anyway, Laziness... I think it is the last tings that I'd admit even if it is so obvious. ;-)As today, I was blaming all the schedule as the main reason why I need move

Starting from laziness

Recently, I'm absent in writing in this Blog.I don't know... Why... maybe I'm too preoccupied to writing the things that are not part of my obligations.I thing I need to start this habit again.Huffa... [wake up from the laziness]Anyway, Laziness... I think it is the last tings that I'd admit even if it is so obvious. ;-)As today, I was blaming all the schedule as the main reason why I need move

Balikpapan: 6 Mei 2007

Aku terbangun pertama kali sekitar jam 1/2 6, di luar hujan. Tapi baru bener-bener ON jam 7. Terus SMS-an sama si Sapi. Jam 1/2 8 sempet bangunin si Dedy, tapi ternyata abis itu dia tidur lagi. Dan si Ivan juga gak ada kabarnya. Apalagi Bagus sama Pandu.

Jam 8 aku mandi, abis itu nonton TV dan ngegosip bareng Sugeng dan Diani. Si Sugeng masak nasi goreng. Niat banget bok, mau masak nasi goreng pake bikin nasi dulu. Hihihi... Trus aku dan Diani makan nasi gorengnya (yang masak malahan enggak, hm... jadi curiga...). Abis itu aku dan Diani ketiduran di kursi tamu, sampe ada sesuatu menghalangi cahaya masuk ke ruang tamu: Dedy.

Aku, Ivan, dan Dedy pun berangkat ke Pasar Kebun Sayur, naik angkot. Aku sih hanya mencari tusuk konde dan toko kain Abdi saja. Gak mau bawa terlalu banyak ol-ol juga, bisa-bisa overweight bagasinya. Untungnya... aku bisa ingat lokasi toko yang baru sekali kukunjungi tiga tahun yang lalu tersebut. Pasarnya juga gak terlalu besar, coba kalo sebesar Pasar Senen, wah ya maap deh... bisa-bisa gak nemu kali.

Setelah itu kami naik angkot lagi ke BC buat makan siang. Di BC juga hanya sebentar, diajakin ke Gramed atau Matahari aku malas, selain malas berdiri-nya, terus yang begitu juga banyak di Jakarta, dah gitu lagi gak pake dandanan mall pula (yang terakhir ini, emang penting ya?).

Abis makan, nemenin Ivan nyari sepatu sebentar => prosesnya surprisingly bener-bener sebentar. Setelah itu minta pulang saja... hehe... mendingan main Privia, atau dengerin yang lainnya main Privia.

Kami naik angkot lagi, aku dan Ivan sudah siap-siap harus jalan kaki mendaki ke Gunung Pancur, tapi Dedy minta ke supir angkotnya supaya naik ke Gunung Pancur. Hmm, oke deh... gak jadi jalan kaki. Habis itu ngapain aja ya? Aku juga gak begitu ingat. Kayaknya gini sih... sempet simulasi Sekolah Piano. Aku menyebarkan cerita tentang les piano jaman Belanda yang gurunya galak-galak, kalo salah main, tangannya dipukul pakek penggaris. Karena gak menemukan penggaris, aku menggunakan centong nasi saja... hehehe... kemudian Ivan mengusulkan pake mandau saja. Wuah... itu namanya Sekolah Piano STPDN kali...

Setelah itu Ivan nonton TV, Dedy nguprek-nguprek software Teach Me Piano, sedangkan aku mainin The Disney Storybook.

Jam 5 Pandu datang, gantian Pandu yang main piano. Terus kita berusaha booking kepiting Kenari, tapi ternyata jawabannya gak niat gitu, katanya kepitingnya abis. Sampe nelpon 2 kali kitee... Trus Pandu dan Ivan ngambil motor dulu, Bagus datang. Ketika kita sudah siap semua... ada 1 masalah: helm-nya kurang 1. Pandu menawarkan untuk memakai saja helmnya yang katanya udah laaaaammmmaaaaaaa banget gak dipakai. Akhirnya dapet pinjeman helm dari pak Nyoto.

Oya, akhirnya gak jadi makan di Kenari, karena katanya gak ada kepitingnya. Kalo masih maksa ke Kenari, jadinya makan kursi dan meja kali ya? Trus ada 3 alternatif pengganti: Dapen, Teluk Bayur (dan aku pun mulai menyanyikan lagunya Tetty Kadi), dan Tambora. Dapen dan Teluk Bayur katanya dekat, tapi gak banyak porsi kepitingnya. Jadi pilihan jatuh ke Tambora, yang jauh. Sebenarnya anak-anak malasnya kalo tiba-tiba hujan saja. Bisa kacau balau tuh.

Di Tambora, kami memesan 3 PORSI Kepiting: Kepiting Saus Tambora yang mirip bumbu bali biasa, Kepiting Goreng Bawang Putih (Yummy...), Kepiting Lada Hitam. Aku gak ingat, siapa yang pertama mengusulkan untuk pesan 3, bukan 2 porsi saja. Yang jelas waktu kepitingnya datang, aku agak-agak cemas, ngabisinnya bisa gak ya?

Sebelum mulai makan kepiting, copot jam tangan, copot gelang, copot cincin dulu. Hehehe... Setelah itu... ssiiiikkkaaaatttt... lumayan... jadi belajar pake tang. Sekarang aku sudah lebih ahli, meskipun belum se-expert Bi atau yang lain. Menurut aku paling enak yang digoreng. Waktu ditugel, ctak!! dagingnya banyak dan bisa langsung disantap tanpa harus dipisahkan dari sekat-sekatnya. Menurut Ivan, yang digoreng memang lebih asik... karena lebih mudah digigit. Tapi aku tidak berani nyoba makan langsung gigit , gigiku kan payah... ntar bukannya kepitingnya yang tugel, malah gigiku yang tugel.

Selama makan kepiting, kita kena 3 kali mati lampu loh. Tapi Pandu sebagai master of pelistrikan tidak mau memberi saran-saran kepada yang punya toko untuk mengurangi beban listriknya. Dan akhirnya... kita mampu menghabiskan 1 1/2 ceting nasi dan 3 porsi kepiting.

Setelah itu kembali ke Pancur lagi. Tapi sebelumnya melakukan load balancing lagi... Aku yang tadinya dibonceng sama Ivan, ditukar dengan Dedy yang dibonceng Bagus. Dikhawatirkan si Bagus gak bisa naik ke Pancur kalo mbawa Dedy. Yang aku bingung (baru belakangan kepikir), kenapa gak sekalian aja dipindah ke Pandu ya, supaya Bagus gak bawa siapa-siapa...?? Hehe... maklum deh... RAM-nya dah penuh nih... penuh dengan kepiting. Plus prosesor juga udah panas, hari Sabtu-nya non-stop dinyalakan. Jadi lemot bok...

Di Pancur, karaokean dikit lagi, sampe hampir jam 10 kali ya? 5 menit setelah Dedy ndelosor di lantai... aku ngajak pulang. Di rumah Sugeng, sudah ada Ani dan anaknya. Si Ardi lagi dinas ke Banjar, jadi istrinya dititipkan di rumah Sugeng. Hari ini gak begitu lama... aku langsung naik tempat tidur.

Balikpapan: 5 Mei 2007

Hari ini, kami ke Tenggarong. Cerita lengkapnya bisa dilihat di sini:

Tenggarong Trip @ Catatan Perjalanan Gita


Malamnya baru jam 1/2 1 aku naik tempat tidur. Meskipun sudah sakit-sakit semua, tapi aku masih sempat SMSan sama Sapi. Dan lebih surprised lagi, waktu aku sudah tidur sekitar 1 jam-an, HPku bergetar, ternyata Sapi membalas SMS-ku. Weekkss... ngapain malam-malam gini mbakyu?

Balikpapan: 4 Mei 2007

SMS Dini Hari
Jam 2 pagi aku bangun dan merogoh HP yang kuletakkan di "selokan" antar tempat tidur. Ha? Ada SMS? Ternyata SMS dari AirAsia, memberitahukan bahwa flight-ku diundur dari jam 11.15 menjadi 13.30. Paginya ditelpon lagi, ngasih tauk hal yang sama.

Leyeh-Leyeh
Enak juga... pagi-pagi di hari biasa gak ngantor. Bisa nonton TV, main piano, sarapan dengan baik dan benar (bubur oat, abon dengan banyak bawang goreng, dan kecap, hmm... baunya lebih sedap dari bubur ayam, rasanya? silakan dinilai sendiri saja...). Gak kerasa tauk-tauk udah jam 10.30.

Proses Ke Airport - Yang Ribet
Segera siap-siap, jam 11 kurang 10 sudah siap berangkat. Bapak nyuruh berangkat jam 10.30 sebenarnya, tapi menurut aku jam 11 juga cukup, aku males kelamaan ngegaring di airport, apalagi sekarang udah gak ada fasilitas gretongan dari Citibank. Biasanya ambil jalan tengah, hehehe... 10.45. Nah itu sudah 10.50 sebenarnya, harusnya langsung berangkat. Tapi ditawari makan siang, teringat bahwa gak dapet makanan gretong, aku memutuskan untuk makan dulu, tapi hi-speed lunch kali yee... Baru ambil nasi dan mau ambil kornet, HP-ku bunyi. Dedy?

Kemudian terjadilah... kedogolan akibat kurang konsentrasi, setelan volume HP-ku yang terlalu keras, juga sinyal telkomselnya Dedy yang naik turun. Ini versi yang aku dengar sambil makan:
"Git... bu Darso mau bicara.."
[Ha? Siapa pula bu Darso ini... apa urusannya dengan aku...di Region KTI ada ya yang namanya bu Darso??].
Dan "bu Darso" pun menawari aku untuk menginap di rumahnya. Aku bingung mau jawab apa, karena aku baru kali ini dengar ada yang namanya bu Darso, dan kenapa tau-tau dia menawari diriku menginap di rumahnya. Ya aku jawab sekenanya, intinya: liat nanti deh Bu. Aku mau mengenal bu Darso lebih jauh dulu sebelum memutuskan untuk nginep di rumahnya atau di mess.

Aku menyelesaikan my hi-speed lunch kira-kira bersamaan dengan menutup telepon dari bu Darso. Terus ke toilet dulu, karena mungkin perjalanan ke airport bakal macet, dan ketika kembali ke meja makan, HP-ku bunyi lagi. Gubrak... kapan berangkatnya nih... Setelah menunda pembicaraan dengan Ivan, baru aku berangkat.

Ternyata di jalan memang lumayan macet. Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Ivan, aku mikir-mikir tentang kedogolan-ku tadi. Bu Darso tadi sepertinya sudah tahu aku... siapakah itu? Terus aku teringat salah satu kalimatnya Dedy sebelumnya, katanya si Sugeng dan Diani mengundang untuk dateng ke selametan. Hmm... jangan-jangan bukan Darso tadi ya? Tapi Diani kali ya? Wuuuaaa... huhuhu... aku jadi gak enak... abis tadi aku bersikap gak kenal gitu.

Setelah melewati perjalanan yang rese' (di terusan mampang itu, berapa kali dibikin kriting sama sepeda motor), sampailah aku di terminal 1A. Setelah lapor diri, aku keluar lagi, maksudnya mau ambil uang di ATM Mandiri. Dompet mulai tiris. Kalo nanti gak ada yang jemput dan gak ada ATM di Sepinggan, aku gak punya uang untuk naik taksi. Namun... rupanya ATM-nya lagi kosong. Arrrgghhh... capek deh....

Ya wis, pasrah wae lah... semoga di Sepinggan ada ATM. Kemudian masuk ke ruang tunggu. Saatnya nelpon Dedy lagi... confirm tentang bu Darso tadi, karena mode-nya udah mode nunggu, bukan mode on-the-move lagi, setidaknya aku bisa lebih konsentrasi. Tapi alamaaakkk... si telkomsel Dedy gak bisa ditelpon lagi. Walah... piye iki... Jadi sempet nelpon Ivan dulu, minta tolong nyari Dedy, trus ngomongin soal 310 impiannya itu sebentar. Baru gak lama kemudian, si Dedy telepon balik.

Ternyata... emang betul, tadi itu Diani... aku langsung memohon-mohon maap gitu... sudah menyangkanya sebagai bu Darso. Hahaha... dan aku pun menerima tawaran untuk menginap di rumah Sugeng dan Diani.

My First AirAsia Experience
Jam 13.30 aku boarding, lumayan tepat waktu deh. Sedikit cemas, karena kursinya kan rebutan, gak pake nomor tempat duduk. Tapi untung deh, kalo orang lain kepengen duduk di deket jendela, aku lebih milih duduk di dekat gank. Karena penerbangannya lebih dari 1 jam, biasanya aku suka pengen ke toilet, untuk itu duduk di dekat gank lebih strategis.

Jarak antar seat cukup nyaman, gak kayak waktu naik Merpati atau Adam Air, yang mana kakiku aja gak bisa bergerak, apalagi orang-orang yang lebih tinggi dari aku. Trus AC-nya juga dingin. Meskipun tempat duduk tanpa nomor, ternyata loading penumpangnya gak lama, begitu penumpang dah komplit, langsung tutup pintu. Pesawatnya langsung mundur. Wuuaaa... berangkat deh aku...

Penerbangan hari itu lumayan kosong, aku aja dapat 3 seat untuk sendiri. Jadi bisa pindah-pindah, semula aku duduk di dekat gank, maunya sih tidur, tapi gak bisa tidur karena kedinginan, akhirnya aku pindah ke dekat jendela, biar kena matahari. Sepanjang jalan, aku baca novelisasi D'Bijis. Haha... ancur banget ternyata... agak-agak jijay bajay... Udah deket Balikpapan, melewati sekumpulan awan hujan yang tebel banget, agak tergojlak-gojlak heboh. Waduh... jangan-jangan di Balikpapan hujan nih. Hmm... mayan juga, misalkan gak dijemput, ATM-nya gak berfungsi, gak cukup uang buat naik taksi, HP-nya Dedy gak bisa di-call... ditambah hujan, aku harus gimana ya?

Jam 5 kurang 15 pesawat mendarat. Ternyata... di Sepinggan matahari bersinar cerah. Sampai-sampai aku harus melindungi mukaku dengan buku D'Bijis karena silaunya. Dalam waktu relatif singkat, koper-koper sudah tersedia di conveyor. Dan aku pun keluar, mulai celingak-celinguk kebingungan. Hehe... boong ding, gak ada acara kebingungan kok, begitu keluar dari hall kedatangan, langsung ada yang cengar-cengir di deket pagar pembatas.

Aku langsung dibawa ke rumah Sugeng, yang tetanggaan sama Ivan. Setelah berhaha-hehe, Dedy pulang. Terus aku bantu Diani dan Sugeng ngelap-ngelap perangkat makan sebentar, abis itu mandi. Sore itu acaranya selametan keluarga Sugeng. Untung saja aku pas bawa baju yang cukup appropriate untuk acara semacam itu (ini kan ceritanya liburan, biasanya aku hanya bawa t-shirt, t-shirt, dan t-shirt saja, paling resmi ya kaos polo).

Waktu orang-orang ngeliat ke piringku, mereka mengira aku malu-malu, makannya dikit. Hihi... padahal...sebenernya gak malu, dan makanannya pun yummy, aku juga gak lagi diet, tapi: "Aku nyisain tempat buat kepiting Kenari...hehehehe....". Ya, ini adalah kunjungan keduaku ke Balikpapan, di kunjungan pertama aku banyak menghabiskan waktu keluar masuk RSPB, karena gusiku bengkak, dan akupun gak makan kepiting. Terus terang saja... selama ini aku kurang lihai makan kepiting, mungkin karena kurang pengalaman. Aku sering kagum ngeliat Bi makan kepiting, keliatannya expert banget, dengan menggunakan tang segala. Sedangkan aku amatiran banget, gak pernah bisa mengambil banyak dagingnya. Makanya pengen latihan di kepiting Kenari, katanya kepitingnya gede-gede.

Anak Asuhku
Sebelum acara selesai, aku, Ivan, dan Dedy pamitan ke rumah Dedy. Nah ini diiaaaa.... yang kutunggu-tunggu: ketemu dengan anak asuhku. Hi my dear, how are you? Are you having a good time here? Miss you, miss our late night piano playings. Tapi ngomong-ngomong, yang duduk di depanmu ini... gak terus masuk angin ya? Bok, si Privia diletakkan tepat di bawah AC... kasian yang main dunk. Aku gak begitu peduli tadinya (maklum deh, dah biasa maen di tempat yang dingin, sumuk, berangin, bekas banjir, atau bahkan bau sekalipun), tapi terus si Dedy bilang: Kalo kedinginan matiin aja. Ha? Apanya yang dimatiin... tuing... aku melirik ke atas, doeng... oo... iya ya... tepat di bawah AC... :-P Kalo gini sih kemungkinan cedera akibat maen piano-nya bukan Carpal Tunnel Syndrome, melainkan Enter Wind...

Jam 10 aku dan Ivan pulang. Besok kan harus pagi-pagi. Waktu nyampe di rumah Sugeng, Diani udah setengah tidur. Tapi masih sempet ngobrol sebentar, gak lama Diani sudah pindah alam. Aku? Menurut teori seharusnya aku sudah ngantuk sekarang... tadi kan habis melakukan perjalanan dari Jakarta. Tapi aku malah nonton sinetron Wulan. Haha... padahal di Jakarta gak pernah blas nonton sinetron. Baru jam 1-an aku akhirnya pindah alam...

Balikpapan: Aftermath

Sungguh mencengangkan... pulang dari jalan-jalan ke Balikpapan, yang penuh dengan kepiting, ikan bakar, juga dapet makan gratis dari Sugeng dan Diani, aku malah turun 2 kg. Yeah... kemaren sore nimbang, jreng-jreng: 51 kg, padahal sebelum berangkat aku sempat nimbang dan hampir mencapai angka 54 sepertinya (ya maklumlah... gak pake kacamata pas nimbang, meleset dikit gpp kan). Hmm... baru turun 2 kg, tapi sudah mulai terasa bedanya ketika berpakaian. Lebih banyak space-nya... Hahahaha...

Terus kemaren siang, sempet tidur siang, tapi baru sebentar (mungkin sekitar sejam) terus digagalkan oleh telepon yang bergetar, duh... tauk gitu di-silent teleponnya. Malamnya, jam 9 sudah masuk kamar, tadinya penasaran sama DVD JB, tapi baru selesai Biuti en de Bis sudah kumatikan saja.

Yang paling menyebalkan, jam 2 malam, aku terbangun karena sakit perut. Lari ke WC, terus setelah beberapa menit sempat kembali ke kamar, tapi baru duduk sebentar di tempat tidur, sakit lagi... lari lagi ke WC lagi, dan kali ini alhamdulilah sakitnya bener-bener hilang trus bisa tidur sampai pagi. Wualah... makan apa ya aku kemarin? Gak jelas sih... kayaknya gak ada yang harmful dalam 24 jam terakhir.

Di kantor, sepanjang hari aku ngantuk, apalagi udaranya lagi panas. Entahlah apa yang terjadi dengan AC Kwarnas yang kemaren dah diganti. Rasanya jadi capek gitu.. tapi surprisingly, bu Lisa bilang: You look fresher gita... Ha? Masa' sih? Hihihi... maybe I should give the credit to the holiday yaa... Despite the fresh look, I am feeling tired, just like my friends in Balikpapan. Ini namanya capek namun senang... Hmm, tidur cepet lagi kali ya? JB bisa besok-besok lagi. Kekekekekek....

Nice walk home…

God must be trying to give me some light.. otherwise it may be just a lovely coincindence.. Sat by a nice guy in class today.. smart, cute, very warm - n a moslem. We said hi to each other a...

Tenggarong Trip – 5 Mei 2007

Salah satu julukanku adalah tukang tidur, atau kerennya: Sliping Byuti, tetapi [tumben-tumbenan] pagi ini ternyata aku bangun sebelum yang lain bangun, hmm... mungkin karena sehari sebelumnya aku gak ngantor ya.

Sambil menunggu kedatangan Bagus, Dedy, dan Pandu, aku berkunjung ke rumah Ivan untuk melihat-lihat koleksi DVD/CD-nya. Jam 8, waktu kita lagi nonton Queen, barulah mereka bertiga datang dengan Innova sewaan.

Setelah bersih-bersih interior mobil sebentar, kami pun berangkat. Tidak lupa mampir ke kantor Pertamina EP Region KTI untuk menjemput mas Benny, driver kami hari ini. Baru beberapa menit beranjak dari kantor Region KTI, kira-kira ketika melewati Kantor Besar, “kresek…kresek…�, terdengar bunyi kantong plastik tergesek-gesek, meaning: ada yang membongkar bungkusan snack!! Haha… tersangkanya adalah yang duduk di kursi paling belakang. Hmm… memang kami semua belum sempat sarapan, jadi sebelum keluar Balikpapan, mampir dulu untuk sarapan dengan menu lontong sayur, coto makassar, dan nasi kuning.

Kami menuju Tenggarong dengan memilih rute Tritip, tempat penangkaran buaya. Jalannya halus, tapi agak sempit dan belok-belok. Mas Benny nyetirnya agak-agak heboh, namun keliatan cukup menguasai medannya. Rasanya aman, tapi di dalam (terutama yang di kursi tengah) jadi dapat bonus “main roller coaster�, alias terlempar ke kiri dan kanan. Pandu yang pindah duduk ke belakang setelah sarapan tadi malah tenang-tenang saja, tidur-tiduran sambil menikmati musiknya sendiri, seolah tidak terpengaruh dengan kontur jalan yang heboh tadi.

Sebelum masuk ke jalan “hutan�sempat mampir ke toilet umum, setelah dikecewakan oleh SPBU yang ternyata tutup. Kemudian setelah keluar dari jalan “hutan�, kami memilih rute “pinggir sungai Mahakam� untuk menuju Tenggarong (tidak lewat kota Samarinda).

Jalan “pinggir sungai� kecil dan gak begitu halus, di kiri kanannya padat penduduk. Sebagian penduduk di sebelah kanan ada yang tinggal di atas sungai. Meskipun kali ini bukan pertama kalinya melihat sungai besar, menyusuri sungai Mahakam dan melihat kehidupan di sekitarnya merupakan pengalaman tersendiri. Banyak hal-hal unik yang tidak ditemui tiap hari di kota metropolitan, seperti rumah terapung atau tongkang batubara yang sedang diisi, bahkan kami sempat mengamati arus sungai yang (secara sok tauk kami simpulkan) seperti tidak teratur dan unpredictable.

Bagus mulai mengiming-imingi kami dengan “jembatan berlampu�, katanya kalau sudah sampai di Tenggarong nanti, ada jembatan keren yang banyak lampunya. Karena rasanya lama sekali tidak sampai-sampai, setiap melintas di atas jembatan, kami selalu bertanya: “Bukan yang ini jembatannya Gus?�.

Kemudian, tiba-tiba aku mencium bau yang cukup familiar: brownies kukus, meaning: ada yang membuka kotak brownies di kursi belakang!! Kami pun bagi-bagi brownies yang katanya enak itu.

Lagi asik makan brownies, hujan deras turun, padahal sedari tadi panasnya bukan main. Ketika kami memasuki kota Tenggarong, hujan deras masih juga turun. Jembatannya Bagus tadi sampai tidak terlihat dengan jelas. Kami menemukan nickname buat Jembatan Kartanegara ini: Cisco. Bukan karena mirip Golden Gate di San Fransisco, tapi karena jembatan adalah lambangnya Cisco, brand alat-alat network yang tersohor, dan kebetulan kami semua mencintai Cisco [wahahaha… benarkah demikian?].

Tak berapa jauh, meskipun samar-samar di tengah hujan, terlihat kereta gantung dan sky tower-nya Pulau Kumala. Ivan langsung merengek pengen naik kereta gantung itu, tapi tentu saja kami harus menunggu hujan reda.

Ketika kami masih bingung mau kemana dulu (berhubung masih hujan), dari sebelah kiri mobil terdengar: “Ada yang merasa lapar gak?�. Yang lain menjawab dengan kompak (dan berbohong): “Enggak!!�.

Ya…ya… kami semua merasa lapar, mungkin kecuali aku yang (anehnya) sepanjang hari Sabtu tidak merasa lapar. Tapi yang lain saling menunggu, siapakah yang duluan mengaku lapar…?? Ternyata Dedy yang duluan memecah keheningan lapar mereka dengan our question-of-the-day. Sembari mencari tempat makan, brownies kukus pun disantap habis.

Kami pun berhenti di restoran yang terletak di depan Museum Mulawarman. Kami memesan ikan mas goreng, ikan bawal bakar, dan ikan patin bakar, lengkap dengan tumis kangkung, plus oseng pare dan balado teri. Kemudian kami memilih tempat duduk yang mepet dengan pinggir sungai. Sambil makan, kami menikmati hujan yang turun di tepi sungai Mahakam.

Di depan tempat kami makan, ada kapal yang di atasnya ada organ tunggal sedang berlatih. Selain organ tunggal, terlihat juga loyang-loyang katering. Rupanya kapal itu sedang menunggu para turisnya. Ketika kami selesai makan, turis-turis berdatangan ke kapal itu, dan kemudian mereka menyebrang ke Pulau Kumala. Sementara itu, kami masih penasaran sama kereta gantung.

Selesai makan, kami mencari museum Kayu. Takjub juga ketika ternyata Bagus bisa menemukannya. Museum Kayu ini tempatnya agak mblusuk-mblusuk, jalannya pun jelek banget, gak kebayang kalau di tengah-tengahnya ada museum. Petunjuknya adalah museum tersebut berada di dekat waduk Panji. Kami pun mengikuti petunjuk jalan ke waduk Panji. Kukira yang namanya waduk Panji itu seperti waduk Cirata, ternyata lebih mirip tempat pemancingan ikan atau restoran kuring.

Harga tanda masuk ke museum Kayu juga membuat takjub: 500 rupiah saja. Memang tidak banyak yang dipamerkan di museum tersebut, hanya ada contoh-contoh kayu, contoh produk dari kayu, dan 2 ekor buaya besar yang diawetkan. Oya, ditambah dengan kliping-kliping berita tentang keganasan buaya. Hiii… males banget.

Sebelum meninggalkan museum Kayu, kami sempat berfoto-foto. Foto barusan adalah salah satu hasilnya, dan ini adalah awal dari karir singkat kami sebagai foto model, pengarah gaya, dan sekaligus fotografer.

Dari museum Kayu, kami beranjak ke stasiun kereta gantung. Mas Benny menolak ketika kami ajak menyebrang ke Pulau Kumala, lebih memilih beristirahat di mobil. Dan kami pun dengan ceria membeli tiket, dan masuk ke stasiun kereta gantung. Kami sama sekali tidak perlu mengantri, hanya ada satu rombongan di depan kami. Menurut info yang didapat dari teman-teman maupun internet, untuk naik kereta gantung ke Pulau Kumala kerap kali harus mengantri berjam-jam, tapi hari ini tidak seperti itu. Mungkin karena sehabis hujan, atau karena bukan hari Minggu. Lihat foto-foto ceria kami sebelum naik ke kereta gantung.

Keceriaan Pandu sedikit terhapus begitu kita naik ke kereta gantung. Ternyata menyeramkan katanya… Bahkan untuk berpose aneh-aneh untuk foto pun tidak berani, selalu mengingatkan: “Jaga keseimbangan… jaga keseimbangan…�. Kami sudah berusaha untuk melakukan load balancing antara tempat duduk kiri dan kanan. Di tempat duduk yang satu terdapat 60 + 53 + 55 kg, sedangkan tempat duduk sebrangnya terdapat 80 + 83 kg, cukup seimbang kan?

Turun dari kereta gantung, kami naik kereta kelinci menuju ke Sky Tower. Sky Tower ini cukup canggih, aku belum pernah melihatnya di tempat lain di Indonesia. Tapi Pandu tidak tertarik untuk naik ke Sky Tower. Akhirnya kami berempat saja, tanpa orang lain juga, padahal kapasitas Sky Tower tersebut cukup besar. Dengan diiringi lagu Let’s Dance Together-nya Melly feat.BBB, Sky Tower pun mulai berputar ke atas, kami pun bisa melihat sekeliling kota Tenggarong. Tak lupa foto-foto di atas Sky Tower.

Dari Sky Tower, semula kami ingin bermain trampolin, tapi karena kelihatannya sudah hampir hujan, takut tidak bisa kembali ke sebrang dengan kereta gantung, jadi kami cepat-cepat menuju ke patung Lembuswana untuk berfoto-foto. Sayangnya aku belum menemukan literatur tentang Lembuswana ini. Di Wikipedia gak ada sih…

Ini sedikit hasil foto di dekat patung Lembuswana beserta komentarnya:

Gus, kenapa dirimu terlihat seperti sedang nggoda anakmu? Di depanmu itu si Pandu, bukan Nindi...

F4 lagi kunjungan ke Tenggarong. What are you looking at?

Dari patung Lembuswana, kami cepat-cepat menuju kereta gantung lagi. Kali ini Pandu memilih duduk di tengah. Dan kami pun tiba di sebrang sebelum hujan lebat datang. Dari stasiun kereta gantung, tujuan berikutnya adalah kota Samarinda. Tapi sebelumnya, kami mau berfoto-foto dengan latar belakang Cisco dulu.

Untuk berfoto-foto, pengunjung kota Tenggarong dapat berhenti di taman yang terletak di dekat jembatan Cisco. Semuanya berlomba-lomba untuk jadi pengarah gaya dan foto model, karena sangat sulit untuk menjadi fotografer. Di perjalanan ini, fotografer gayanya harus lebih aneh dari foto modelnya. Hal ini disebabkan kami selalu berusaha mengambil gambar dengan latar belakang obyek yang tinggi (Sky Tower, patung Lembuswana, Cisco). Pandu dan Dedy adalah fotografer yang gayanya paling unik, sedangkan aku adalah foto model yang paling gak bisa nahan ketawa ngeliatin fotografernya, sehingga suka merusak formasi. Jadilah hasilnya seperti ini (beserta komentarnya juga):

Foto ini berjudul Tarik Kabel. Ini adalah rombongan penarik kabel, selain itu tepat di atas kepalanya Dedy terlihat kabel-kabel bajanya si Cisco terikat erat.

F4 lagi... kali ini di depan Cisco.

Ini akibatnya kalo fotografernya lebih gaya dari foto modelnya. Lihat ke tanganku, seharusnya aku gak melakukan itu, tapi sesaat sebelum kameranya diklik, aku melihat si Dedy lagi bergaya aneh banget, akhirnya gak bisa nahan ketawa, bubar deh posenya.

Ini juga salah satu foto yang fotografernya lebih lucu dari fotomodelnya, tapi untunglah Pandu sempat menunggu aku diam dulu sebelum ngeklik kameranya.

Kalo lagi jaim gini, keliatan harmonis ya?

Dari Cisco, tujuan selanjutnya adalah kota Samarinda. Yang dicari di kota Samarinda adalah Bioskop 21, kami mengejar film Spiderman 3. Hihi.. lucu juga, ketika semua orang semangat pengen nonton Spiderman 3, aku males-malesan, ealah ternyata sekarang terpaksa ngikut juga. Kali ini rute yang dipilih adalah jalan baru yang menghubungkan Samarinda dengan Tenggarong. Jalannya besar, dua arah dipisahkan dengan tanggul, tapi cukup naik turun dan berbelok-belok, lagi-lagi saatnya main roller coaster. Untungnya formasi sudah berubah lagi, Bagus dan Pandu berpindah ke belakang, dan langsung teler tak lama setelah meninggalkan Tenggarong, aku dan Ivan di tengah, sedangkan di depan Dedy jadi DJ yang harus sabar melayani request dari penumpang lainnya.

Memasuki Samarinda, agak pusing juga. Sedari tadi mas Benny sudah belok sana-belok sini tapi kok aku gak menemukan pola kotanya. Sepertinya tidak ada jalan utama yang paling besar di kota itu, correct me if I’m wrong ya.

Sampailah kami di SCP. SCP adalah sejenis tools untuk FTP… hihihihi, meskipun aku tidak berbohong, tapi yang dimaksud dalam cerita ini sebenarnya adalah Samarinda Central Plaza. Ketika kami sedang mengantri parkir, our question-of-the-day terlontar lagi. Ya..ya… kami berencana makan di McD, tapi sebelumnya harus nge-check dulu di Bioskop 21. Ternyata Spiderman 3 diputer di 3 studio malam itu. Setelah sempat berpindah antrean, dan mengantri bergantian, kami mendapatkan tiket untuk jam 17.20. Aku sempat mencuci muka di kamar mandi 21, karena tadi di toilet lantai lainnya tidak tersedia air.

Mungkin karena hari itu adalah malam minggu, SCP ini penuhnya bukan main, mirip seperti pasar kalau mau lebaran. Harus pandai-pandai mencari jalan zig-zag kalau mau jalan agak cepat.

Setelah beli tiket, kami mencari cemilan di Hero. Lucunya, setelah duduk manis di 21, baru sadar bahwa bungkusan plastik berisi Teh Kotak tertinggal di Kassa Hero. Dedy dan Bagus pun kembali ke Hero. Setelah itu baru pembagian snack dilakukan, dan anehnya gak seperti biasanya, aku sama sekali gak tertarik mencoba snack-nya, padahal biasanya belum ½ film snack-ku sudah tandas.

Komentarku tentang nonton film di Samarinda: AC-nya gak dingin, trus suaranya gak stereo pula. Tapi buat teman-teman yang seperti itu masih mending sih, karena di Balikpapan belum ada bioskop 21.

Selesai ber-Spiderman-ria, kami makan di McD, kemudian bergerak menuju Balikpapan. Sebelum keluar dari kota Samarinda, ada yang terasa aneh… ternyata tidak ada lampu jalan di kota Samarinda, atau ada tapi tidak menyala ya? Gelap banget, jadi tergantung pada lampu mobil dan lampu yang ada di bangunan yang berada di pinggir jalan.

Jam ½ 9 kami keluar dari kota Samarinda, merupakan perjalanan yang cukup berat, sebenarnya kami semua sudah lelah, tapi tidak boleh tidur karena harus menemani mas Benny mengendarai mobil. Berbagai usaha dilakukan: karaokean, ngobrol gak jelas juntrungan, aku bahkan mencoba duduk miring sampai sakit pinggang, karena kalau duduk lurus pasti langsung tidur. Akhirnya sampai di Balikpapan dengan selamat jam ½ 11 malam. Kami menurunkan mas Benny di Kantor Region KTI, kemudian mengeluarkan question-of-the-day lagi… dan kami pun berhenti di “food court� Bekapai. Sejenis Blok S kalau di Jakarta, tapi mungkin lebih lengkap, karena selain menyediakan makanan dan minuman, katanya kalau mau bencong juga ada. Tapi untungnya hari itu aku tidak melihat satupun keberadaannya, mungkin sudah habis kali ye?

Setelah itu, kami pun kembali ke tempat tinggal masing-masing, mandi, kemudian gedabruk… Hhaaa… what a day…

Dari semua tempat yang dikunjungi, yang menonjol adalah Pulau Kumala, itupun sebenarnya tergolong masih belum ada apa-apanya, panas, sumuk, pliket. Mungkin seharusnya kami mengeluh bete ya?

Meskipun akhirnya tanganku jadi agak gatel-gatel karena keringat, dan keesokan harinya yang lain tidur sampai hampir tengah hari, aku tetap menikmati perjalanan ini. Yang berperan dari suatu liburan ternyata bukan hanya bagus/tidaknya tempat yang kita kunjungi, melainkan juga beberapa hal lain. Liburan bisa jadi berarti karena kita melihat hal-hal baru yang tidak kita temui tiap hari, bisa juga karena teman-teman yang pergi bersama dengan kita (yang juga tidak tiap hari kita temui), atau bisa jadi karena liburan adalah pelarian dari keseharian kita yang mulai membosankan.

Tenggarong Trip – 5 Mei 2007

Salah satu julukanku adalah tukang tidur, atau kerennya: Sliping Byuti, tetapi [tumben-tumbenan] pagi ini ternyata aku bangun sebelum yang lain bangun, hmm... mungkin karena sehari sebelumnya aku gak ngantor ya.

Sambil menunggu kedatangan Bagus, Dedy, dan Pandu, aku berkunjung ke rumah Ivan untuk melihat-lihat koleksi DVD/CD-nya. Jam 8, waktu kita lagi nonton Queen, barulah mereka bertiga datang dengan Innova sewaan.

Setelah bersih-bersih interior mobil sebentar, kami pun berangkat. Tidak lupa mampir ke kantor Pertamina EP Region KTI untuk menjemput mas Benny, driver kami hari ini. Baru beberapa menit beranjak dari kantor Region KTI, kira-kira ketika melewati Kantor Besar, “kresek…kresek…”, terdengar bunyi kantong plastik tergesek-gesek, meaning: ada yang membongkar bungkusan snack!! Haha… tersangkanya adalah yang duduk di kursi paling belakang. Hmm… memang kami semua belum sempat sarapan, jadi sebelum keluar Balikpapan, mampir dulu untuk sarapan dengan menu lontong sayur, coto makassar, dan nasi kuning.

Kami menuju Tenggarong dengan memilih rute Tritip, tempat penangkaran buaya. Jalannya halus, tapi agak sempit dan belok-belok. Mas Benny nyetirnya agak-agak heboh, namun keliatan cukup menguasai medannya. Rasanya aman, tapi di dalam (terutama yang di kursi tengah) jadi dapat bonus “main roller coaster”, alias terlempar ke kiri dan kanan. Pandu yang pindah duduk ke belakang setelah sarapan tadi malah tenang-tenang saja, tidur-tiduran sambil menikmati musiknya sendiri, seolah tidak terpengaruh dengan kontur jalan yang heboh tadi.

Sebelum masuk ke jalan “hutan”sempat mampir ke toilet umum, setelah dikecewakan oleh SPBU yang ternyata tutup. Kemudian setelah keluar dari jalan “hutan”, kami memilih rute “pinggir sungai Mahakam” untuk menuju Tenggarong (tidak lewat kota Samarinda).

Jalan “pinggir sungai” kecil dan gak begitu halus, di kiri kanannya padat penduduk. Sebagian penduduk di sebelah kanan ada yang tinggal di atas sungai. Meskipun kali ini bukan pertama kalinya melihat sungai besar, menyusuri sungai Mahakam dan melihat kehidupan di sekitarnya merupakan pengalaman tersendiri. Banyak hal-hal unik yang tidak ditemui tiap hari di kota metropolitan, seperti rumah terapung atau tongkang batubara yang sedang diisi, bahkan kami sempat mengamati arus sungai yang (secara sok tauk kami simpulkan) seperti tidak teratur dan unpredictable.

Bagus mulai mengiming-imingi kami dengan “jembatan berlampu”, katanya kalau sudah sampai di Tenggarong nanti, ada jembatan keren yang banyak lampunya. Karena rasanya lama sekali tidak sampai-sampai, setiap melintas di atas jembatan, kami selalu bertanya: “Bukan yang ini jembatannya Gus?”.

Kemudian, tiba-tiba aku mencium bau yang cukup familiar: brownies kukus, meaning: ada yang membuka kotak brownies di kursi belakang!! Kami pun bagi-bagi brownies yang katanya enak itu.

Lagi asik makan brownies, hujan deras turun, padahal sedari tadi panasnya bukan main. Ketika kami memasuki kota Tenggarong, hujan deras masih juga turun. Jembatannya Bagus tadi sampai tidak terlihat dengan jelas. Kami menemukan nickname buat Jembatan Kartanegara ini: Cisco. Bukan karena mirip Golden Gate di San Fransisco, tapi karena jembatan adalah lambangnya Cisco, brand alat-alat network yang tersohor, dan kebetulan kami semua mencintai Cisco [wahahaha… benarkah demikian?].

Tak berapa jauh, meskipun samar-samar di tengah hujan, terlihat kereta gantung dan sky tower-nya Pulau Kumala. Ivan langsung merengek pengen naik kereta gantung itu, tapi tentu saja kami harus menunggu hujan reda.

Ketika kami masih bingung mau kemana dulu (berhubung masih hujan), dari sebelah kiri mobil terdengar: “Ada yang merasa lapar gak?”. Yang lain menjawab dengan kompak (dan berbohong): “Enggak!!”.

Ya…ya… kami semua merasa lapar, mungkin kecuali aku yang (anehnya) sepanjang hari Sabtu tidak merasa lapar. Tapi yang lain saling menunggu, siapakah yang duluan mengaku lapar…?? Ternyata Dedy yang duluan memecah keheningan lapar mereka dengan our question-of-the-day. Sembari mencari tempat makan, brownies kukus pun disantap habis.

Kami pun berhenti di restoran yang terletak di depan Museum Mulawarman. Kami memesan ikan mas goreng, ikan bawal bakar, dan ikan patin bakar, lengkap dengan tumis kangkung, plus oseng pare dan balado teri. Kemudian kami memilih tempat duduk yang mepet dengan pinggir sungai. Sambil makan, kami menikmati hujan yang turun di tepi sungai Mahakam.

Di depan tempat kami makan, ada kapal yang di atasnya ada organ tunggal sedang berlatih. Selain organ tunggal, terlihat juga loyang-loyang katering. Rupanya kapal itu sedang menunggu para turisnya. Ketika kami selesai makan, turis-turis berdatangan ke kapal itu, dan kemudian mereka menyebrang ke Pulau Kumala. Sementara itu, kami masih penasaran sama kereta gantung.

Selesai makan, kami mencari museum Kayu. Takjub juga ketika ternyata Bagus bisa menemukannya. Museum Kayu ini tempatnya agak mblusuk-mblusuk, jalannya pun jelek banget, gak kebayang kalau di tengah-tengahnya ada museum. Petunjuknya adalah museum tersebut berada di dekat waduk Panji. Kami pun mengikuti petunjuk jalan ke waduk Panji. Kukira yang namanya waduk Panji itu seperti waduk Cirata, ternyata lebih mirip tempat pemancingan ikan atau restoran kuring.

Harga tanda masuk ke museum Kayu juga membuat takjub: 500 rupiah saja. Memang tidak banyak yang dipamerkan di museum tersebut, hanya ada contoh-contoh kayu, contoh produk dari kayu, dan 2 ekor buaya besar yang diawetkan. Oya, ditambah dengan kliping-kliping berita tentang keganasan buaya. Hiii… males banget.

Sebelum meninggalkan museum Kayu, kami sempat berfoto-foto. Foto barusan adalah salah satu hasilnya, dan ini adalah awal dari karir singkat kami sebagai foto model, pengarah gaya, dan sekaligus fotografer.

Dari museum Kayu, kami beranjak ke stasiun kereta gantung. Mas Benny menolak ketika kami ajak menyebrang ke Pulau Kumala, lebih memilih beristirahat di mobil. Dan kami pun dengan ceria membeli tiket, dan masuk ke stasiun kereta gantung. Kami sama sekali tidak perlu mengantri, hanya ada satu rombongan di depan kami. Menurut info yang didapat dari teman-teman maupun internet, untuk naik kereta gantung ke Pulau Kumala kerap kali harus mengantri berjam-jam, tapi hari ini tidak seperti itu. Mungkin karena sehabis hujan, atau karena bukan hari Minggu. Lihat foto-foto ceria kami sebelum naik ke kereta gantung.

Keceriaan Pandu sedikit terhapus begitu kita naik ke kereta gantung. Ternyata menyeramkan katanya… Bahkan untuk berpose aneh-aneh untuk foto pun tidak berani, selalu mengingatkan: “Jaga keseimbangan… jaga keseimbangan…”. Kami sudah berusaha untuk melakukan load balancing antara tempat duduk kiri dan kanan. Di tempat duduk yang satu terdapat 60 + 53 + 55 kg, sedangkan tempat duduk sebrangnya terdapat 80 + 83 kg, cukup seimbang kan?

Turun dari kereta gantung, kami naik kereta kelinci menuju ke Sky Tower. Sky Tower ini cukup canggih, aku belum pernah melihatnya di tempat lain di Indonesia. Tapi Pandu tidak tertarik untuk naik ke Sky Tower. Akhirnya kami berempat saja, tanpa orang lain juga, padahal kapasitas Sky Tower tersebut cukup besar. Dengan diiringi lagu Let’s Dance Together-nya Melly feat.BBB, Sky Tower pun mulai berputar ke atas, kami pun bisa melihat sekeliling kota Tenggarong. Tak lupa foto-foto di atas Sky Tower.

Dari Sky Tower, semula kami ingin bermain trampolin, tapi karena kelihatannya sudah hampir hujan, takut tidak bisa kembali ke sebrang dengan kereta gantung, jadi kami cepat-cepat menuju ke patung Lembuswana untuk berfoto-foto. Sayangnya aku belum menemukan literatur tentang Lembuswana ini. Di Wikipedia gak ada sih…

Ini sedikit hasil foto di dekat patung Lembuswana beserta komentarnya:

Gus, kenapa dirimu terlihat seperti sedang nggoda anakmu? Di depanmu itu si Pandu, bukan Nindi...

F4 lagi kunjungan ke Tenggarong. What are you looking at?

Dari patung Lembuswana, kami cepat-cepat menuju kereta gantung lagi. Kali ini Pandu memilih duduk di tengah. Dan kami pun tiba di sebrang sebelum hujan lebat datang. Dari stasiun kereta gantung, tujuan berikutnya adalah kota Samarinda. Tapi sebelumnya, kami mau berfoto-foto dengan latar belakang Cisco dulu.

Untuk berfoto-foto, pengunjung kota Tenggarong dapat berhenti di taman yang terletak di dekat jembatan Cisco. Semuanya berlomba-lomba untuk jadi pengarah gaya dan foto model, karena sangat sulit untuk menjadi fotografer. Di perjalanan ini, fotografer gayanya harus lebih aneh dari foto modelnya. Hal ini disebabkan kami selalu berusaha mengambil gambar dengan latar belakang obyek yang tinggi (Sky Tower, patung Lembuswana, Cisco). Pandu dan Dedy adalah fotografer yang gayanya paling unik, sedangkan aku adalah foto model yang paling gak bisa nahan ketawa ngeliatin fotografernya, sehingga suka merusak formasi. Jadilah hasilnya seperti ini (beserta komentarnya juga):

Foto ini berjudul Tarik Kabel. Ini adalah rombongan penarik kabel, selain itu tepat di atas kepalanya Dedy terlihat kabel-kabel bajanya si Cisco terikat erat.

F4 lagi... kali ini di depan Cisco.

Ini akibatnya kalo fotografernya lebih gaya dari foto modelnya. Lihat ke tanganku, seharusnya aku gak melakukan itu, tapi sesaat sebelum kameranya diklik, aku melihat si Dedy lagi bergaya aneh banget, akhirnya gak bisa nahan ketawa, bubar deh posenya.

Ini juga salah satu foto yang fotografernya lebih lucu dari fotomodelnya, tapi untunglah Pandu sempat menunggu aku diam dulu sebelum ngeklik kameranya.

Kalo lagi jaim gini, keliatan harmonis ya?

Dari Cisco, tujuan selanjutnya adalah kota Samarinda. Yang dicari di kota Samarinda adalah Bioskop 21, kami mengejar film Spiderman 3. Hihi.. lucu juga, ketika semua orang semangat pengen nonton Spiderman 3, aku males-malesan, ealah ternyata sekarang terpaksa ngikut juga. Kali ini rute yang dipilih adalah jalan baru yang menghubungkan Samarinda dengan Tenggarong. Jalannya besar, dua arah dipisahkan dengan tanggul, tapi cukup naik turun dan berbelok-belok, lagi-lagi saatnya main roller coaster. Untungnya formasi sudah berubah lagi, Bagus dan Pandu berpindah ke belakang, dan langsung teler tak lama setelah meninggalkan Tenggarong, aku dan Ivan di tengah, sedangkan di depan Dedy jadi DJ yang harus sabar melayani request dari penumpang lainnya.

Memasuki Samarinda, agak pusing juga. Sedari tadi mas Benny sudah belok sana-belok sini tapi kok aku gak menemukan pola kotanya. Sepertinya tidak ada jalan utama yang paling besar di kota itu, correct me if I’m wrong ya.

Sampailah kami di SCP. SCP adalah sejenis tools untuk FTP… hihihihi, meskipun aku tidak berbohong, tapi yang dimaksud dalam cerita ini sebenarnya adalah Samarinda Central Plaza. Ketika kami sedang mengantri parkir, our question-of-the-day terlontar lagi. Ya..ya… kami berencana makan di McD, tapi sebelumnya harus nge-check dulu di Bioskop 21. Ternyata Spiderman 3 diputer di 3 studio malam itu. Setelah sempat berpindah antrean, dan mengantri bergantian, kami mendapatkan tiket untuk jam 17.20. Aku sempat mencuci muka di kamar mandi 21, karena tadi di toilet lantai lainnya tidak tersedia air.

Mungkin karena hari itu adalah malam minggu, SCP ini penuhnya bukan main, mirip seperti pasar kalau mau lebaran. Harus pandai-pandai mencari jalan zig-zag kalau mau jalan agak cepat.

Setelah beli tiket, kami mencari cemilan di Hero. Lucunya, setelah duduk manis di 21, baru sadar bahwa bungkusan plastik berisi Teh Kotak tertinggal di Kassa Hero. Dedy dan Bagus pun kembali ke Hero. Setelah itu baru pembagian snack dilakukan, dan anehnya gak seperti biasanya, aku sama sekali gak tertarik mencoba snack-nya, padahal biasanya belum ½ film snack-ku sudah tandas.

Komentarku tentang nonton film di Samarinda: AC-nya gak dingin, trus suaranya gak stereo pula. Tapi buat teman-teman yang seperti itu masih mending sih, karena di Balikpapan belum ada bioskop 21.

Selesai ber-Spiderman-ria, kami makan di McD, kemudian bergerak menuju Balikpapan. Sebelum keluar dari kota Samarinda, ada yang terasa aneh… ternyata tidak ada lampu jalan di kota Samarinda, atau ada tapi tidak menyala ya? Gelap banget, jadi tergantung pada lampu mobil dan lampu yang ada di bangunan yang berada di pinggir jalan.

Jam ½ 9 kami keluar dari kota Samarinda, merupakan perjalanan yang cukup berat, sebenarnya kami semua sudah lelah, tapi tidak boleh tidur karena harus menemani mas Benny mengendarai mobil. Berbagai usaha dilakukan: karaokean, ngobrol gak jelas juntrungan, aku bahkan mencoba duduk miring sampai sakit pinggang, karena kalau duduk lurus pasti langsung tidur. Akhirnya sampai di Balikpapan dengan selamat jam ½ 11 malam. Kami menurunkan mas Benny di Kantor Region KTI, kemudian mengeluarkan question-of-the-day lagi… dan kami pun berhenti di “food court” Bekapai. Sejenis Blok S kalau di Jakarta, tapi mungkin lebih lengkap, karena selain menyediakan makanan dan minuman, katanya kalau mau bencong juga ada. Tapi untungnya hari itu aku tidak melihat satupun keberadaannya, mungkin sudah habis kali ye?

Setelah itu, kami pun kembali ke tempat tinggal masing-masing, mandi, kemudian gedabruk… Hhaaa… what a day…

Dari semua tempat yang dikunjungi, yang menonjol adalah Pulau Kumala, itupun sebenarnya tergolong masih belum ada apa-apanya, panas, sumuk, pliket. Mungkin seharusnya kami mengeluh bete ya?

Meskipun akhirnya tanganku jadi agak gatel-gatel karena keringat, dan keesokan harinya yang lain tidur sampai hampir tengah hari, aku tetap menikmati perjalanan ini. Yang berperan dari suatu liburan ternyata bukan hanya bagus/tidaknya tempat yang kita kunjungi, melainkan juga beberapa hal lain. Liburan bisa jadi berarti karena kita melihat hal-hal baru yang tidak kita temui tiap hari, bisa juga karena teman-teman yang pergi bersama dengan kita (yang juga tidak tiap hari kita temui), atau bisa jadi karena liburan adalah pelarian dari keseharian kita yang mulai membosankan.

Kesan Pertama

Ini hari keempat kami di Chiang Mai, kesan pertama yang didapat adalah: - kota ini sepi (lalu lintas lancar) - kota ini lebih bersih dari Bandung - Makanan di kota ini enak dan murah (tapi bagi rekan kami yang Muslim, mereka agak kesulitan mencari makan) - Bensin dan Listrik mahal (karena nggak disubsidi seperti di Indonesia)