Berita dipatenkannya tempe di Jepang dan Amerika sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Di antara komentar-komentar yang muncul adalah bahwa kita akan sangat dirugikan oleh paten tersebut, karena tempe merupakan makanan asli Indonesia, yang akan sangat menyengsarakan bagi industri rumah tangga tempe apabila harus membayar royalti ke Jepang untuk setiap potong tempe yang diproduksi dan dijemur di pekarangan rumahnya sendiri. Komentar lain yang mengemuka adalah penimpaan kesalahan kepada masyarakat (bukan pemerintah) Indonesia yang sedemikian bodohnya sampai tidak melakukan proses sanggah terhadap paten tersebut.
Beberapa hal terkait dengan berita paten tempe tersebut layak untuk kita jadikan bahan guna mempelajari kondisi HaKI di Indonesia. Yang pertama bahwa klaim bahwa tempe merupakan produk asli Indonesia dan khas Indonesia seharusnya diluruskan terlebih dahulu. Menurut catatan sejarah, tempe tidak hanya berkembang di Indonesia namun juga di Jepang, Cina, dan Nepal. Sehingga wajar sebenarnya apabila Jepang juga dianggap memiliki hak berdasarkan sejarah atas tempe sebagaimana masyarakat Indonesia.
Yang kedua, bahwa ternyata yang dipaten di Jepang bukan proses pembuatan tempe melainkan proses pembuatan tempe menjadi bahan kosmetik. Demikian pula yang dilakukan di Amerika, ternyata adalah paten untuk proses pembuatan obat-obatan dari tempe. Dari dua hal dia atas, dapat disimpulkan betapa minimnya informasi dan pengetahuan yang kita miliki mengenai paten di luar negeri, baik dalam hal apa yang dipatenkan maupun keterkaitan dan dampak paten tersebut terhadap kita.
Hal ketiga yang perlu kita perhatikan adalah mengenai komentar yang menimpakan kesalahan kepada masyarakat Indonesia yang tidak melakukan proses sanggah terhadap paten yang juga masih kabur intinya tersebut. Kesalahan tersebut seharusnya tidak ditimpakan kepada masyarakat Indonesia mengingat pihak-pihak pengelola tempe umumnya bukanlah kalangan yang memiliki sistem manajerial mapan, melainkan industri rumah tangga sederhana yang menjalankan usaha industri tempe sekedar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bagaimana mungkin kondisi masyarakat industri tempe yang demikian diharapkan untuk dapat mengetahui adanya proses pematenan tempe di Jepang dan Amerika, sekaligus melakukan proses sanggah di sana.
Kesalahan dalam kasus ini seandainyapun ada seharusnya lebih dibebankan kepada pemerintah daripada masyarakat. Pemerintah adalah institusi yang secara konsepsi merupakan perwujudan masyarakat yang bertugas melayani masyarakat. Sebagai institusi yang juga dapat dipastikan sanggup berinteraksi dengan dunia intenasional secara baik, maka pemerintahlah yang seharusnya paling bertanggung jawab apabila sampai industri rumah tangga tempe Indonesia harus terkekang dengan paten dari Jepang tersebut. Kasus paten tempe di atas seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk aktif melindungi perekonomian nasional dalam hal HaKI dari paten yang terdapat di luar negeri yang berpotensi mengancam perekonomian nasional khususnya pada skala kecil dan menengah. Dan bukan justru hanya berperan seperti pemerintah negara maju yang bersifat pasif dengan resiko menghalangi perkembangan perekonomian nasional.